Begitu banyak kata yang berkecamuk dalam pikiranku, mengutarakan begitu banyak luka dan kepedihan juga kekecewaan tanpa batas yang pasti. Entah harus kumulai darimana rangkaian ceritaku ini akan kutorehkan dalam kertas, seakan begitu sedikitnya wawasanku akan kosakata.
Sore itu langit begitu cerah, aku tidak sabar lagi untuk bermain diluasnya padang rumput itu. Tempat aku menghabiskan soreku bersama teman-teman yang tidak sebaya denganku. Umurku dengan mereka terpaut 3 sampai 4 tahun lebih tua, wajarlah toh mereka sebenarnya teman-teman paman ku yang paling bungsu. Aku sendiri tidak punya banyak teman, terutama teman sekolah. Aku bukanlah anak yang pintar bergaul, otak pun seadanya sajalah sesuai dengan kelasku, tidak ada yang istimewa yang bisa aku tawarkan pada guru atau teman-temanku yang bisa membuat mereka setidaknya mempertimbangkan aku sebagai temannya.
Tidak ada yang bisa kuperbuat mengenai hal itu, tidak pula aku mengeluh, lagipula kepada siapa aku bisa mengeluh, keluhan tidak akan mengubah apapun. Oh ya, satu-satunya kelebihanku adalah aku termasuk anak yang beruntung lahir sebagai cucu pejabat kereta api yang saat itu sungguhlah suatu prestige yang luar biasa. Jadi jika saat itu ada yang mau berteman denganku, setidaknya itu karena aku punya rumah paling besar diantara mereka. Apa yang membuat aku tidak percaya diri juga karena aku merasa berbeda dari teman-temanku, aku tidak punya orang tua yang semestinya. Yang aku punya hanyalah wali, bukan ayah dan ibu yang selalu mengantar anaknya sekolah dan memberi kecupan selamat belajar sebelum berangkat sekolah.
*sigh* .. aku tahu, aku tidak hidup dalam dongeng dimana segala sesuatunya terlihat dan berjalan dengan sempurna. Tapi bukan berarti aku tidak boleh bermimpi akan suatu kehidupan yang sempurna. Di sela waktu istirahatku atau sesaat sebelum aku terlelap menyerahkan diriku pada nyamannya sebuah kasur, selalu aku selipkan sebuah cerita tentang dunia yang baru, dimana aku pun hidup dalam dunia itu. Dunia yang penuh dengan bunga mawar berwarna putih, sepasang orang tua, seorang kakak laki-laki, aku sendiri, dan seekor kuda jantan besar berwarna putih. Ya, tertawalah.. memang itu yang terjadi jika aku menyampaikan prolog seperti ini, terutama mereka para skeptical cinta dan kebahagiaan. Mereka yang bukan petarung sepertiku, mereka yang mudah menyerah akan ganasnya kehidupan dan mengasingkan diri dari keindahan sebuah mimpi. Aku pun tidak menyalahkan mereka.
Padang rumput itu, aku ingat bagaimana rumput-rumput liarnya yang tinggi tertiup angin sore dan suara bocah-bocah lelaki berteriak dan tertawa bermain sebagai penjahat mengejar para bocah lainnya. Berlari dengan kencang, melompat dengan penuh semangat, terjatuh dan kembali berlari. Sang angin pun tampak ikut bermain, menghembuskan nafas kegembiraan, memberi kesejukan pada wajah berkeringat mereka, membelai rambut-rambut mereka layaknya surai kuda yang berlari di padang nan luas. Aku si anak bawang selalu mengikuti apa yang dikatakan para dayang dan pengawal, lari kesana kemari, ditarik kesana dan kesini. Sampai langit berubah warna menjadi keperakan, saat sang senja menghantar khatulistiwa, dan kami pun kembali ke rumah masing-masing untuk melepas lelah dan kembali ke peraduan...
[bersambung.. entah kapan..]
No comments:
Post a Comment
Feel free to leave a comment